pesan pribadi buat anda.

asslmu'alaikum wr.wb.

trmksh sya ucapkan untuk anda yang telah mengunjungi donieblogger, pesan dan kesan anda sangat saya butuhkan di sini. sbagai tambahan motivasi buat saya untuk kedepanya.

saya akan mmbantu segala kebutuhan anda. apabila anda jg brsedia mmbantu saya. dgn cara melihat/mengikuti program yg saya buat dengan cara gratis.

trmksh.
by donieblogger

Kamis, 28 April 2011

Mantan Presiden Indonesia yang tidak Dicatat Sejarah

syarifudin prawiranegara


Dalam sejarahnya, Negara Indonesia pernah mengalami pergantian sistem pemerintahan. Dari kesatuan berubah menjadi serikat dan berubah kembali menjadi kesatuan hingga kini.Demikian juga dengan pemimpinnya atau presidennya. Selama 63 tahun berdiri sebagai Negara, telah terjadi berkali-kali pergantian pemimpin di Indonesia. Mulai dari ir. Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono sekarang.



Sebagai penjabat presiden,umumnya orang Indonesia hanya mengenal Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putrie dan Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal masih ada dua lagi presiden Indonesia dan jarang sekali disebut. Yakni Syafrudin Prawiranegara dan Mr. Asaat.

Dua orang ini pernah menjabat sementara ketika eranya Soekarno. Syafrudin Prawiranegara menjabat Presiden/ketua PDRI (Pemerintahan DaruratRepublik Indonesia) ketikaSoekarno dan M. Hatta ditawan Belanda dan ketika ibukota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Agar pemerintahan tetap eksis dan berjalan, akhirnya dibentuklah PDRI dengan Syafrudin Prawiranegara sebagai penjabat presiden.Syafrudin menjabat Presiden Indonesia Darurat sejak 19 Desember 1948



Mr. Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911 – meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.

Mr.assaat
Siapa Mr. Assaat ?


Lahir di sebuah kampung bernama Kubang Putih Banuhampu, pada tanggal 18 September 1904. Memasuki sekolah agama "Adabiah" dan MULO Padang, selanjutnya ke STOVIA Jakarta. Karena jiwanya tidak terpanggil menjadi seorang dokter, ditinggalkannya STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS Assaat melajutkan studinya ke Rechts Hoge School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di Jakarta.

Ketika menjadi studen RHS inilah, beliau memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, ialah gerakan pemuda dan politik. Masa saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda "Jong Sumatranen Bond". Karir politiknya makin menanjak lalu berhasil menduduki kursi anggota Pengurus Besar dari "Perhimpunan Pemuda Indonesia". Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam "Indonesia Muda", ia terpilih mejadi Bendahara Komisaris Besar " Indonesia Muda".

Dalam kedudukannya menjadi studen (mahasiswa), Assaat memasuki pula gerakan politik "Partai Indonesia" disingkat Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo seperti : Adnan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Syarifuddin dan lain-lainnya.

Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, akhirnya tercium oleh profesornya dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walaupun setelah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan demikian, gelora pemudanya makin bergejolak, dia putuskan meninggalkan Indonesia pergi ke negeri Belanda. Di Nederland dia memperoleh gelar "Meester in de rechten" (Sarjana Hukum).
Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro Yogyakarta sering terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi.

Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang ini tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap sederhana berwajah cerah dibalik kulitnya kehitam-hitaman. Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam.

Mungkin generasi sekarang yang berumur 30 sampai 35 tahun, kurang atau sedikit sekali mengenal perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot demokrat yang tidak kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankan Republik Indonesia.

Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar biasa.

Ia tetap berdiri pada posnya di KNIP, tanpa mengenal pamrih dan patah semangat. Sejak ia terpilih menjadi ketua KNIP, jabatan ini tidak pernah terlepas dari tangannya. Sampai kepadanya diserahkan tugas sebagai Acting (Pejabat) Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.

Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Pekerjanya selama revolusi sedang berkobar telah dua kali mengadakah hijrah.
Pertama di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komidi di Pasat baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Kramat. Karena perjuangan bertambah hangat, demi kelanjutan Revolusi Indonesia, sekitar tahun 1945 dipindahkan ke Yogyakarta.

Kemudian pada tahun itu juga KNIP dan Badan Pekerja, pindah ke Purwokerto, Jawa Tengah. Ketika situasi Purwokerto dianggap "kurang aman" untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta. Pada saat inilah Mr. Assaat sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama berselang dia ditunjuk menjadi ketua KNIP beserta Badan Pekerjanya


Baca Selengkapnya : http://www.whooila.com/2011/04/mantan-presiden-indonesia-yang-tidak.html#ixzz1Kpbog6et
Whooila! - Gudang Fakta Unik dan Aneh

Selasa, 26 April 2011

Software Tool Hacker Terbaik



saya tidak menyediakan link downloadnya….anda bisa langsung download melalu google…

1. Active password Changer
Dengan tools ini, agan-agan sekalian bisa mengubah passaword yang ada di dalam komputer yang bisa anda akses secara fisik. Tool ini bekerja dengan cukup baik. Ada beberapa fitur yang dimilikinya, yaitu melakukan booting dari USB, Floopy disk, ataupun melalui CD. Bahkan tool ini juga menyediakan CD Burner sederhana untuk mem-burn file pada CD.

2. Cain
Ini adalah salah satu tool yang sangat popular dikalangan para Hacker. Aplikasi ini dikenal sebagai aplikasi serba bisa, bukan hanya saja digunakan untuk melakukan kracking password, fitur-fitur lainnya juga bisa didapatkan di sini, seperti MITM. Aplikasi ini memungkinkan agan-agan untuk memperoleh nilai hash dari berbagai sumber.

3.dumpacl-dumpsec
Tools yang digunakan untuk melakukan pekerjaan enumerasi. Dulu, aplikasi ini bernama Dump ACL. Cara kerjanya memanfaatkan Null Connections, sehingga tools ini mampu menampilkan user account secara detail. Contohnya seperti kapan terakhir pergantian atau perubahan password, administratornya siapa dan kapan expirednya dan sebagainya

4.Handy-keylogger
Sama seperti keylogger yang lain, ia juga bisa menyembunyikan dirinya jika dideteksi dari Task Manager. Keylogger ini diam-diam mencatat seluruh kegiatan agan pada PC yang sudah diinstal aplikasi ini. Seperti ketikan keyboard, clipboard, snapshot, dan alamat website yang dikunjungi semua bisa direkam dengan baik menggunakan aplikasi ini.

5. L0phtkrack Administrator
Dengan aplikasi ini , agan bisa mengimmpor nilai hash dari computer lain dengan menggunkan salah satu fitur yang dimilikinya yaitu import hashes. Namun agan skalian masih harus memiliki user account yang setara dengan administrator. Jika agan ingin mengambil nilai hash secara remote.

6. privacy keyboard
Aplikasi tool ni berguna untuk mencegah keylogger yang menyakiti sistem agan skalian. Baik itu keylogger yang bekerja secara hardware maupun software. Jika aplikasi ini aktif Anda tidak bisa melakukan kegiatan capture screen shoots, keystroke. Untuk keylogger berjenis hardware, aplikasi ini menyediakan keyboard virtual, sehingga tidak akan terdeteksi.

7. Spytech Spy Agent
Aplikasi mata-mata ini akan mencatat semua informasi yang dilakukan oleh user secara diam-diam. File logyang digunakan untuk menyimpan hasil pencatatan akan di enkripsi. Secara default, hotkey untuk menjalaknnya aplikasi ini adalah Ctrl+Shift+Alt+M, namun defalt hotkey ini masih bisa anda ubah sesuai dengan keinginan Agan-agan sekalian

8.winfingerprint-0.6.2
Aplikasi ini menggambungkan banyak teknik enumerasi. Di aplikasi ini anda bisa menjumpai enumerasi melalui Net BIOS, SMB, MSRPC, SNMP, dan Active Directory. Anda tinggal memasukkan alamat IP dari host yang hendak periksa dan pilih tombol scan untuk mulai melakukan scanning. Setelah itu, terserah agan-agan mau diapain tuhkomputr remote tersebut.

9. Sams Big Play Maker
Aplikasi yang satu ini cukup unik karena mampu menyembunyikan teks atau pesan tersembunyi yang anda masukkan menjadi layaknya bentuk percakapan. Biasa mereka tidak akan menyadari bahwa sesungguhnya ada pesan tersembunyi di dalamnya.

10. Track eraser Pro
Dalam urusan menghapus jejak, aplikasi ini memang sangat bisa diandalkan, karena ia mendukung banyak sekali jenis aplikasi. Selain bisa menhapus log yang dicatat oleh Windows, aplikasi ini akan menghapus jejak pada aplikasi Office, realone player, media player, winzip, winamp, dan sebagainya. Dijamin gan-agan tidak akan meninggalkan jejak di PC lain.

Nb. Tulisan ini dibuat hanya untuk sharing semata,,,, jangan disalah artikan...

Sumber : www.kaskus.us
HACKING, SOFTWARE

Senin, 25 April 2011

Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah



Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah

oleh Michael H. Hart
 

Komentar Media Massa
Dasar Pemikiran
01. Nabi Muhammad 51. Umar Ibn Al-Khattab
02. Isaac Newton 52. Asoka
03 Nabi Isa 53. St. Augustine
04. Buddha 54. Max Planck
05. Kong Hu Cu 55. John Calvin
06. St. Paul 56. William T.G.Morton
07. Ts'ai Lun 57. William Harvey
08. Johann Gutenberg 58. Antoine Henri Becquerel
09. Christopher Columbus 59. Gregor Mendel
10. Albert Einstein 60. Joseph Lister
11. Karl Marx 61. Nikolaus August Otto
12. Louis Pasteur 62. Louis Daguerre
13. Galileo Galilei 63. Joseph Stalin
14. Aristoteles 64. Rene Descartes
15. Lenin 65. Julius Caesar
16. Nabi Musa 66. Francisco Pizarro
17. Charles Darwin 67. Hernando Cortes
18. Shih Huang Ti 68. Ratu Isabella I
19. Augustus Caesar 69. William Sang Penakluk
20. Mao Tse-Tung 70. Thomas Jefferson
21 Jengis Khan 71. Jean-Jacques Rousseau
22. Euclid 72. Edward Jenner
23. Martin Luther 73. Wilhelm Conrad Rontgen
24. Nicolaus Copernicus 74. Johann Sebastian Bach
25. James Watt 75. Lao Tse
26. Constantine Yang Agung 76. Enrico Fermi
27. George Washington 77. Thomas Malthus
28. Michael Faraday 78. Francis Bacon
29. James Clerk Maxwell 79. Voltaire
30. Orville Wright & Wilbur Wright 80. John F. Kennedy
31. Antone Laurent Lavoisier 81. Gregory Pincus
32. Sigmund Freud 82. Sui Wen Ti
33. Alexander Yang Agung 83. Mani
34. Napoleon Bonaparte 84. Vasco Da Gama
35. Adolf Hitler 85. Charlemagne
36. William Shakespeare 86. Cyrus Yang Agung
37. Adam Smith 87. Leonhard Euler
38. Thomas Edison 88. Niccolo Machiavelli
39. Antony Van Leeuwenhoek 89. Zoroaster
40. Plato 90. Menes
41. Guglielmo Marconi 91. Peter Yang Agung
42. Ludwig Van Beethoven 92. Meng-Tse (Mencius)
43. Werner Heisenberg 93. John Dalton
44. Alexander Graham Bell 94. Homer
45. Alexander Fleming 95. Ratu Elizabeth I
46. Simon Bolivar 96. Justinian I
47. Oliver Cromwell 97. Johannes Kepler
48. John Locke 98. Pablo Picasso
49. Michelangelo 99. Mahavira
50. Pope Urban II 100. Neils Bohr
Tokoh-Tokoh Terhormat Yang Tertinggal
St. Thomas Aquinas Archimedes
Charles Babbage Khufu (Cheops)
Marie Curie Benjamin Franklin
Mohandas Gandhi Abraham Lincoln
Ferdinand Magellan Leonardo Da Vinci
Beberapa Pendapat Akhir: Kolom A, Kolom B, Kolom C


MU’TAZILAH



Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basra, Irak, di abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha' (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.

Ajaran utama

Ajaran Mu'taziliyah kurang diterima oleh kebanyakan ulama Sunni karena aliran ini beranggapan bahwa akal manusia lebih baik dibandingkan tradisi. Oleh karena itu, penganut aliran ini cenderung menginterpretasikan ayat-ayat Al Quar'an secara lebih bebas dibanding kebanyakan umat muslim. Mu’taziliyah memiliki 5 ajaran utama, yakni :
  1. Tauhid. Mereka berpendapat :
o   Sifat Allah ialah dzatNya itu sendiri.
o   al-Qur'an ialah makhluk.
o   Allah di alam akhirat kelak tak terlihat mata manusia. Yang terjangkau mata manusia bukanlah Ia.
  1. Keadilan-Nya. Mereka berpendapat bahwa Allah SWT akan memberi imbalan pada manusia sesuai perbuatannya.
  2. Janji dan ancaman. Mereka berpendapat Allah takkan ingkar janji: memberi pahala pada muslimin yang baik dan memberi siksa pada muslimin yang jahat.
  3. Posisi di antara 2 posisi. Ini dicetuskan Wasil bin Atha' yang membuatnya berpisah dari gurunya, bahwa mukmin berdosa besar, statusnya di antara mukmin dan kafir, yakni fasik.
  4. Amar ma’ruf (tuntutan berbuat baik) dan nahi munkar (mencegah perbuatan yang tercela). Ini lebih banyak berkaitan dengan hukum/fikih.
Aliran Mu’taziliyah berpendapat dalam masalah qada dan qadar, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Manusia dihisab berdasarkan perbuatannya, sebab ia sendirilah yang menciptakannya.

Tokoh Mu’taziliyah

Tokoh-tokoh Mu’taziliyah yang terkenal ialah :
  1. Wasil bin Atha', lahir di Madinah, pelopor ajaran ini.
  2. Abu Huzail al-Allaf (751-849 M), penyusun 5 ajaran pokoq Mu’taziliyah.
  3. an-Nazzam, murid Abu Huzail al-Allaf.
  4. Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahab/al-Jubba’i (849-915 M).
Meski kini Mu’taziliyah tiada lagi, namun pemikiran rasionalnya sering digali cendekiawan Muslim dan nonmuslim.

Sejarah Munculnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48)
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29) Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65)
(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)
Mengapa Disebut Mu’tazilah? Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani t berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?” Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 )
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)
Asas dan Landasan Mu’tazilah Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut: Landasan Pertama: At-Tauhid Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Bantahan:
1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil sam’i: bahwa  mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak,
IAllah   berfirman:Ipadahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah
إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٍ 0 إِنَّه هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ 0 وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ 0 ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ 0 فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ0
Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى0 الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى0 وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى0 وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى0 فَجَعَلَه غُثَآءً أَحْوَى
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5)
Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “ (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81)
Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan) Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang . Dalilnya adalahIdari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah  :Ifirman Allah
وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ
“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
Bantahan:
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman :
IAllah
فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315) Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki
Idan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah  berfirman:
وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ
“Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat: 96)
Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai kedok untuk mengingkari . Atas dasar
I yang merupakan bagian dari taqdir Allah Ikehendak Allah  inilah mereka lebih pantas disebut dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan orang-orang yang zalim.
Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah I untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Bantahan:
1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan , karena termasuk pelecehan terhadap
Iyang demikian itu kepada Allah  Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:
إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.
Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذاَلِكَ لِمَنْ يَشَآء
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).
2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari)
(Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu (ed).)
Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Bantahan:
1.Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan :
Ikemaksiatan, sebagaimana firman Allah
وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا

“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
Dan juga firman-Nya:
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ۰وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كَافِرُوْنَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125) Dan firman-Nya:
لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيْمًا
“Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” (Al-Fath: 4)

وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلاَّ مَلاَئِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلاَّ فِتْنَةً لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوْا إِيْمَانًا وَلاَ يَرْتَابَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَلِيَقُوْلَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُوْنَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ إِلاَّ هُوَ وَمَا هِيَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْبَشَرِ
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mu’min itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Al-Muddatstsir: 31)
الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)…” (Al-Baqarah: 260)  bersabda: “Keimanan iturRasulullah  (mempunyai) enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah z

2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَ إِنْ طَآءِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya…” (Al-Hujurat: 9)
Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
Bantahan: Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
I Allah  berfirman:
يَآءَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59) Rasulullah r bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy–Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa]
Sesatkah Mu’tazilah? Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti:
o   Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.
o   Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.
o   Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.
o   Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).
Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah) Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45).
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis: Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc http://mufaqqih.multiply.com/journal/item/14


makalah lengkap study islam tentang IBADAH




BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang

Seringkali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian kepada Tauhid terlebih dahulu. Mengapa ? keduanya berkaitan erat, karena mustahil kita mencapai tauhid tanpa memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah Al-Wajibat dijelaskan bahwa “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “IBADAH adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).

Dari definisi singkat tersebut, maka secara umum ibadah seperti yang kita ketahui di antaranya yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan ramadhan (maupun puasa-puasa sunnah lainnya), dan melaksanakan haji. Selain ibadah pokok tersebut, hal-hal yang sering kita anggap sepele pun sebenarnya bernilai ibadah dan pahalanya tidak dapat diremehkan begitu saja, misalnya :

  • Menjaga lisan dari perbuatan dosa, misalnya dengan tidak berdusta dan mengumbar fitnah, mencaci, menghina atau pun melontarkan perkataan yang bisa menyakiti hati.
  • Menjaga kehormatan diri dan keluarga serta sahabat.
  • Mampu dan bersedia menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab.
  • Berbakti dan hormat kepada kedua orang tua atau orang yang lebih tua dari kita.
  • Menyambung tali silaturahim dan kekerabatan.
  • Menepati janji.
  • Memerintahkan atau setidaknya menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar.
  • Menjaga hubungan baik dengan tetangga.
  • Menyantuni anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan).
  • Menyayangi hewan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat tinggal kita.
  • Memanjatkan do’a, berdzikir, mengingat Allah kapan dan dimanapun kita berada.
  • Membaca Al Qur’an.
  • Mendengarkan ceramah, dan lain sebagainya termasuk bagian dari ibadah.
Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).
BAB II
P E M B A H A S A N

2.1 Pengertian Ibadah
Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh (al-tha’ah), dan tunduk (al-khudlu). Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri . Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah.[1]
Ini sesuai dengan pengertian yang di kemukakan oleh al-syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan diri yang paling maksimal.
Secara etimologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa raga hanya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
           “Dan Aku tidak diciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka     menyembah-Ku.”  (al-Zariyat/51:56)
Menurut istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-ubudiyah, memberikan penjelasan yang cukup luas tentang pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah berarti merendahkan diri (al-dzull). Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan diri kepada Allah. Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah al-zull dan ghayah         al-mahabbah. Patuh kepada seseorang tetapi tidak mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan itu bukan ibadah. Jadi, cinta atau patuh saja belum cukup disebut ibadah. Seseorang belum dapat dikatakan beribadah kepada Allah kecuali apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya kepada apapun dan memuliakan-Nya lebih dari segala lainnya.
Menurut uraiannya, Ibn Taimiyah sangat menekankan bahwa cinta merupakan unsur yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari pengertian ibadah. Menurutnya, agama yang benar adalah mewujudkan ubudiyah kepada Allah dari segala seginya, yakni mewujudkan cinta kepada-Nya. Semakin benar ubudiyah seseorang, semakin besarlah cintanya kepada Allah.
Dari beberapa keterangan yang dikutipnya, Yusuf al-Qardawi menyimpulkan bahwa ibadah yang disyari’atkan oleh Islam itu harus memenuhi dua unsur:
1.    Mengikat diri (iltizam) dengan syari’at Allah yang diserukan oleh para rasul-Nya, meliputi perintah , larangan, penghalalan, dan pengharaman sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah.
2.    Ketaatan itu harus tumbuh dari kecintaan hati kepada Allah, karena sesungguhnya Dialah yang paling berhak untuk dicintai sehubungan dengan nikmat yang diberikan.
Dalam pengertian yang luas ibadah meliputi segala yang dicintai Allah dan    diridhai-Nya, perkataan dan perbuatan lahir dan batin. Termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat, haji, berkata benar dll. Jadi meliputi yang fardhu, dan tathawwu’, muammalah bahkan akhlak karimah serta fadhilah insaniyah. Bahkan lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa seluruh agama itu termasuk ibadah
.
2.2    Ruang Lingkup Ibadah
            Islam amat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta dikerjakan menurut cara-cara yang disyariatkan oleh-Nya. Islam tidak membataskan ruang lingkup ibadah kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia adalah medan amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka kembali bertemu Allah di hari pembalasan nanti. Ruang lingkup ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah menurut Islam asalkan  memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tersebut adalah seperti berikut:
1. Amalan yang dikerjakan hendaklah diakui Islam, bersesuaian dengan hukum-hukum syara'. Adapun amalan-amalan yang diingkari oleh Islam dan ada hubungan dengan yang
    haram dan maksiat, maka tidak dijadikan sebagai amalan ibadah.
2.    Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik bagi tujuan untuk memelihara kehormatan diri, menyenangkan keluarga, memberi manfaat kepada umat dan memakmurkan bumi sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah.
3.    Amalan tersebut harus dibuat dengan seindah-indahnya untuk menepati yang ditetapkan oleh Rasulullah saw yang mafhumnya: “Bahwa Allah suka apabila seseorang dari kamu membuat sesuatu kerja dengan memperindah kerjanya.”
4.     Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum-hukum syara' dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang.
5.    Tidak melalaikan ibadah-ibadah khusus seperti salat, zakat dan sebagainya dalam melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu ruang lingkup ibadah dalam Islam sangat luas. Ia adalah seluas hidup seseorang Muslim dan kesanggupan serta kekuatannya untuk melakukan apa saja amal yang diridhai oleh Allah dalam jangka waktu tersebut.

2.3 Dasar-dasar Ibadah
            Ibadah harus dibangun atas tiga dasar. Pertama, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mendahulukan kehendak, perintah, dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah saw. Bersabda,
            Ada tiga hal yang apabila terdapat dalam seseorang niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; bahwa ia tidak mencintai seseorang melainkan semata karena Allah; dan bahwa ia membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
(HR Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik)
            Seorang hamba harus memiliki tiga maqam cinta, yaitu:
1.      Maqam takmil (level penyempurnaan). Hendaklah ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan puncak kesempurnaan cinta.
2.      Maqam tafriq (level pembedaan). Hendaklah ia tidak mencintai seseorang melainkan hanya karena Allah. Ia harus mampu membedakan mana yang dicintai dan yang dibenci Allah, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan dan manusia.
3.      Maqam daf’u al-naqidh (level penolakan atas lawan iman). Hendaknya ia membenci segala sesuatu yang berlawanan dengan iman, sebagaimana ia membenci jika dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya, cinta harus ditandai dengan dua hal yaitu:
1.       Mengikuti sunnah Rasulullah saw.
2.      Jihad dan berjuang di jalan Allah dengan segala sesuatu yang dimilikinya.
Kedua, takut. Ia tidak merasa takut sedikit pun kepada segala bentuk dan jenis makhluk selain kepada Allah. Dalam beribadah, ia harus merasa takut apabila ibadahnya tidak diterima atau sekadar menjadi aktivitas rutin yang tidak memiliki dampak positif sama sekali dalam kehidupannya. Maka, dengan rasa takut kepada Allah, seorang hamba akan senantiasa khusuk di hadapan-Nya ketika ia melakukan ibadah. Ia akan selalu memelihara dan menjaga ibadahnya dari sifat riya’ yang sewaktu-waktu bisa menjadi virus ibadah.
Adapun rasa takut kepada Allah SWT bias dilahirkan dari tiga hal:
1)      Seorang hamba mengetahui dosa-dosa dan keburukannya.
2)      Seorang hamba percaya dan yakin akan ancaman Allah terhadap orang-orang yang durhaka kepada-Nya.
3)      Hendaknya hamba itu mengetahui dan meyakini, bahwa boleh jadi ia tidak akan pernah bisa bertaubat dari dosa-dosanya.
Kuat lemahnya rasa takut kepada Allah dalam diri seseorang bergantung pada kuat dan lemahnya ketiga hal tersebut. Rasa takut itu akan memaksa seseorang untuk berlari kembali kepada Allah dan merasa tentram di samping-Nya. Ia adalah rasa takut yang disertai dengan kelezatan iman, ketenangan hati, ketentraman jiwa, dan cinta yang senantiasa memenuhi ruang hati.
Ketiga, harapan, yaitu harapan untuk memperoleh apa yang ada di sisi Allah tanpa pernah merasa putus asa. Seorang hamba dituntut untuk selalu berharap kepada Allah dengan harapan yang sempurna.
Seorang hamba harus senantiasa berharap kepada Allah agar ibadahnya diterima. Ia tidak boleh memiliki perasaan bahwa semua ibadah yang dilakukannya sangat mudah diterima oleh Allah SWT tanpa ada harapan dan kecemasan. Begitu pula ia tidak boleh putus asa dalam mengharap rahmat dari Allah.[2]
Ketika ia menyadari kekurangannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kepada Allah, sebaiknya ia segera menyaksikan karunia dan rahmat Allah. Sesungguhnya,     rahmat-Nya jauh lebih luas daripada segala sesuatu. 
Ada beberapa hal yang bisa menumbuhkan harapan dalam diri seseorang, yaitu:
1)      Kesaksian seorang hamba atas karunia, ihsan, dan nikmat Allah atas                 hamba-hamba-Nya.
2)      Kehendak yang jujur untuk memperoleh pahala dan kenikmatan yang ada                 di sisi-Nya.
3)      Menjaga diri dengan amal shaleh dan senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan.
Ketiga dasar ibadah ini harus menyatu dalam diri seorang hamba. Jika hilang salah satu dari ketiga hal tersebut, akan menyebabkan kesalahan fatal dalam akidah dan tauhid. Beberapa ulama salaf berpendapat, bahwa barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta, maka ia adalah zindiq. Dan barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa harap, maka ia golongan Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut, maka ia dari golongan Khawarij. Namun, barangsiapa beribadah kepada Allah dengan rasa cinta, harap, dan takut, maka ia mukmin yang mengesakan Allah.

2.4  Hakikat dan Tujuan Ibadah
 Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi.
Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat.[3]
Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya.
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ ÇÑÈ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS Az-Zalzalah 99: 7-8)
Pada suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya. Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’. Melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah bahwa ibadah yang hakiki itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata melakukan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang hakiki itu merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah, manusia akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari benar-benar kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika hal ini    benar-benar telah dihayati, maka banyak manfaat yang akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang dijanjikan, tidak akan luput sebab Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT dan           menunggalkan-Nya sebagai tumpuan harapan dalam segala hal.
Kesadaran akan keagungan Allah akan menimbulkan kesadaran betapa hina dan rendahnya semua makhluk-Nya. Orang yang melakukan ibadah akan merasa akan terbebas dari beberapa ikatan atau kungkungan makhluk. Semakin besar ketergantungan dan harapan seseorang kepada Allah, semakin terbebaslah dirinya dari yang selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan sebagainya tidak akan mempengaruhi kepribadiannya. Hatinya akan menjadi merdeka kecuali dari Allah dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan hati.

2.5  Makna Ibadah
      Ibadah adalah cinta dan ketundukan yang sempurna.[4]
“Pada saat kita mencintai, namun kita tidak tunduk kepada-Nya, maka kita belum menjadi hamba-Nya. Dan pada saat kita tunduk kepada-Nya tanpa rasa ada rasa cinta, kita pun belum menjadi hamba-Nya. Sampai kita menjadi orang yang mencintai dan tunduk kepada-Nya.”
            Kita harus menyertakan cinta kita kepada Allah di dalam ibadah kita, meskipun pada hakikatnya cinta itu telah  tertanam di dalam jiwa setiap muslim. Jika tidak, dia belum beribadah kepada Allah. Maka hendaknya dia menghadirkan cinta itu untuk meraih kenikmatan yang didambakan.
            Area ibadah itu sangat luas hingga mencakup seluruh perilaku yang dicintai Allah. Ibadah adalah suatu kata yang maknanya mencakup seluruh perbuatan dan perkataan yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik yang tersembunyi dan yang tampak. Jangan membatasi ibadah hanya seputar syiar-syiar ta’abbudiyah (ibadah mahdhah) saja. Yaitu shalat, shaum, haji dan shadaqah. Akan tetapi lebih dari itu, ibadah itu mencakup seluruh perbuatan yang disebut ma’ruf. Rasulullah bersabda,
            “Setiap perbuatan baik itu adalah shadaqah.”
            `Di antara perbuatan ma’ruf adalah berbuat baik di dalam masyarakat, menyelesaikan pekerjaan mubah dengan sempurna dan berusaha mencari karunia Allah di muka bumi. Bahkan area ibadah itu lebih banyak lagi daripada itu, seperti dengan cara mengubah amalan yang mubah menjadi bernilai ibadah dengan menyertakan niat yang baik di dalam amalnya. Sebagiamana Rasulullah bersabda,
            “Niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalannya.”
            Setiap amal untuk dunia dan akhirat yang kita kerjakan, pada hakikatnya semua adalah untuk kepentingan akhirat.

2.6 Jalan agar Ibadah dapat diterima oleh Allah
Ibadah dalam arti sebenarnya adalah takut dan tunduk sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama. Seseorang akan belum sempurna ibadahnya, kalau hanya dilakukan lewat perbuatan saja, sedangkan perasaan tunduk dan berhina diri itu belum bangkit dari hati. Bila ibadah yang dikerjakan bukan karena Allah, hanya karena maksud lain misalnya saja hanya ingin dilihat orang dan mendapatkan pujian, berarti ia telah mempersekutukan Allah dan ibadah yang dikerjakannya akan ditolak oleh Allah. Agar ibadah kita dapat diterima oleh Allah, kita harus memiliki sikap berikut :
1.      Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan itu bukan karena mengharap pemberian dari Allah, tetapi semata-mata karena perintah dan ridha-Nya. juga bukan karena mengharapkan surga dan jangan pula karena takut kepada neraka. Karena surga dan neraka tidak dapat menyenangkan atau menyiksa tanpa seizin Allah SWT.
2.      Meninggalkan riya, artinya beribadah bukan karena malu kepada manusia dan supaya dilihat oleh orang lain.
3.      Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Allah itu melihat dan selalu ada disamping kita sehingga kita bersikap sopan kepada-Nya.
4.      Jangan keluar dari waktunya, artinya mengerjakan ibadah dalam waktu tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu.[5]
2.7  Tanda-tanda seseorang yang merasakan nikmatnya Ibadah
            Kenikmatan ibadah itu memiliki tanda-tanda sebagaimana firman Allah,
öNèd$yJÅ Îû OÎgÏdqã_ãr ô`ÏiB ̍rOr& ÏŠqàf¡9$# 4
          Tampak pada muka mereka tanda-tanda bekas sujud” (QS. Al-Fath: 29)
Ini menunjukan bahwa orang-orang yang mampu merasakan nikmatnya beribadah akan membekas di wajahnya serta dalam tingkah laku dan kepekaannya.
Kemudian tanda-tanda yang dapat dilihat dari seorang mukmin yang telah merasakan kenikmatan ibadah adalah,
1.      Bersegera melakukan ketaatan
      Pada saat seorang mukmin bertemu dengan satu amalan ketaatan, apapun amalan tersebut, dia akan bergegas untuk menyambutnya dengan rasa senang, baik amalan itu datang ketika waktu shalat atau saat-saat menjelang bulan Ramadhan yang penuh berkah atau ketika musim haji atau jihad fi sabilillah atau amalan-amalan shalih lainnya.
      Salah seorang pemuka tabi’in bernama Said bin al-Musayyib berkata,
      selama tiga puluh tahun aku telah berada di masjid sebelum muadzin mengumandangkan adzan.”
      Muhammad bin Sima’ah at-Tamimi berkata, “selama empat puluh tahun aku belum pernah tertinggal dari takbir pertama bersama imam kecuali pada hari ketika ibuku meninggal.”
      Salah seorang sahabat bernama Abdullah bin Rawahah, apabila ingin keluar rumahnya dia shalat dua rakaat. Apabila masuk rumah dia pun shalat dua rakaat dan beliau tidak pernah meninggalkan kebiasaannya itu. Rasulullah pun memuji dirinya, beliau bersabda,
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada saudaraku Abdullah bin Rawahah, dia selalu menghentikan untanya di mana saja dia dapat mendapatkan waktu shalat itu telah tiba”
Bukan hanya dalam persoalan shalat. Di dalam semua jenis ketaatan kepada Allah yang lain pun demikian. Seperti kisah yang tidak asing lagi, yaitu Abu Bakar dan Ummar yang berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Oleh karena itu, pada hakekatnya setan setan itu sangat menginginkan seorang mukmin berlambat-lambat untuk melakukan ketaatan.


2.        Memanjangkan shalat
Orang yang merasakan nikmatnya ibadah, dia tidak merasakan bahwa waktu itu terus berlalu, bahkan waktu yang panjang baginya terasa sesaat.
Dahulu Nabi Muhammad SAW. Melakukan shalat malam dengan membaca surat     al-Baqarah, Ali Imran dan an-Nisa’ dalam satu rakaat. Beliau tidak merasakan panjangnya waktu untuk berdiri dalam shalat karena sibuk menikmati lezatnya bermunajat.
Shalat itu mempunyai bacaan yang mampu melupakanmu dari makanan dan melalaikanmu dari perbekalan
3.      Berpuasa secara rutin
Sebagaimana halnya seorang hamba yang senang menikmati ibadah dengan memanjangkan shalatnya, dia pun senang melakukan puasa secara rutin. Selain menahan lapar dan nafsu, dengan puasa juga akan memberikan vitamin kepada jiwa dan akan mendekatkan diri kepada Dzat yang Maha Penguasa Yang Paling Tinggi.
4.      Membaca Al-Qur’an
Allah telah mensifati orang-orang yang beriman ketika Al-Qur’an turun. Mereka adalah,
Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.”(QS. at-Taubah: 124)
Mereka merasa gembira karena ayat-ayat yang tercantum didalamnya merupakan kabar gembira bagi mereka dan sebagai bentuk ancaman bagi musuh-musuh mereka. Didalam ayat-ayat Al-Qur’an terdapat jawaban bagi permasalahan yang mereka hadapi dan di dalamnya pun terdapat perkataan yang tidak bosan untuk di dengarkan.
5.     Menyesal ketika kehilangan kesempatan untuk melakukan ketaatan
Di antara tanda-tanda seseorang merasakan kelezatan ibadah adalah apabila seorang mukmin kehilangan kesempatan dalam melakukan kebaikan dia merasa sedih dan gelisah, sehingga dia akan berusaha untuk tidak kehilangan kesempatan itu untuk kedua kalinya. Dia merasa sedih karena orang lain telah mendahuluinya menuju seruan Allah. sebagaimana sedihnya orang-orang kehilangan kesempatan untuk berjihad.
6.      Rindu ingin bertemu dengan Allah
Di antara ciri-ciri orang yang merasakan kelezatan ibadah adalah dia merindukan pertemuan dengan Dzat yang dia cintai. Dia merasakan tenteram mendengar dan membaca kalam-Nya, tenteram dengan shalat, berjihad melawan hawa nafsunya, puasa karena-Nya untuk mendapatkan derajat taqwa di sisi Allah. Akan tetapi karena dia belum merasakan kegembiraan melihat-Nya dan dia selalu berdoa kepada Allah.
Sedangkan cirri-ciri orang yang terhalang dari mendapatkan kenikmatan ibadah sebagai berikut:
1.      Mereka merasa benci untuk melakukan ketaatan kepada Allah. Allah berfirman,
(#þqèd̍x.ur br& (#rßÎg»pgä 4
Dan mereka benci untuk berjihad”(QS.at-Taubah:81)
2.      Apabila mereka diajak berinfak dijalan Allah dengan harta yang nantinya akan kekal dan akan kembali kepadanya dengan berlipat ganda, maka ia enggan menginfakkannya. Sekalipun mereka menginfakkan harta mereka, mereka akan mengeluarkan harta yang paling buruk. Allah berfirman,
 Ÿwur (#qßJ£Jus? y]ŠÎ7yø9$# çm÷ZÏB tbqà)ÏÿYè?
  Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya “ (QS. Al-Baqarah:267)
3.      Orang yang terhalang dari kenikmatan beribadah akan tidur dan orang yang cinta kepada Allah akan bangun untuk shalat.
4.      Malas untuk melakukan amal.

2.8  Sarana meraih nikmatnya ibadah
Adapun sarana untuk mencapai kenikmatan ibadah antara lain :
1.      Ridha Allah sebagai rabb yang diibadahi
Firman Allah,
ššÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã
 Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya”                     (QS.at-Taubah:100)

Mereka ridha kepada perintah dan takdir Allah, aturan dan hukum-Nya dan ridha kepada penciptaan beserta hikmah-Nya. Cara untuk mendapatkan ridha-Nya adalah dengan bertawakkal kepada-Nya, menunaikan perintah-Nya dan mengaku kelemahan-kelemahan. Ridha lahir dari cinta. Barang siapa cinta kepada Allah, dia akan merasakan kenikmatan ketika menjadi pelayan bagi Dzat yang dia cintai.


2.      Ridha kepada nabi Muhammad sebagai utusan Allah
Sebagai halnya cinta kepada Allah, maka kita harus mencintai Rasul-Nya, Muhammad SAW. Karena beliau manusia yang menyampaikan perintah dan larangan dari Allah dan sebagai perantara yang akan menghantarkan manusia sampai kepada Allah. Cara seseorang untuk ridha kepada Nabi adalah dengan mencintainya, tunduk dan berhukum kepadanya.
3.      Memperdalam iman kepada hari akhir dan mengetahui hakikat dunia dan akhirat
Memupuk keimanan pada hari akhir akan mendorong manusia untuk semangat dalam melakukan pekerjaan.
4.      Menjauhi hal-hal yang menyebabkan hati membatu
Barang siapa ingin meraih kenikmatan beribadah, hendaklah ia bersungguh-sungguh memacu diri untuk menghindar dari dorongan hawa nafsu dan janji-janji yang semu.
Imam Ibn Qayyim berkata:
nafsu itu akan mengajak kepada keburukan, mungkin disebabkan dia bodoh terhadap akibat buruk yang akan timbul atau karena niat yang rusak atau pada saat tertentu karena dua hal tersebut secara bersamaan”
5.      Bersungguh-sungguh
Barang siapa yang bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya untuk selalu taat, maka yang demikian adalah pahala yang besar daripada amalan lainnya. Rasulullah bersabda,
Sudikah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang menyebabkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat kedudukannya dengan beberapa derajat?” para sahabat menjawab,”Ya, wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda:”sempurnakanlah wudhu atas hal-hal yang di benci, perbanyaklah melangkahkan kaki menuju masjid-masjid dan menunggu shalat wajib setelah shalat nafilah”
6.      Berdoa
7.      Merasa yakin akan mendapatkan tujuan beribadah dan yakin akan berhasil meraih   kenikmatannya
8.      Menegetahui bahwa ibadah itu bukan sekedar bentuk-bentuk yang harus ditunaikan, akan tetapi ibadah adalah ruh
9.      Menjadikan ibadah sebagai prioritas perhatian seseorang
10.  Memberikan kesempatan istirahat kepada jiwa dan memberikan ketenteraman hati.


2.9     Jenis ibadah

            Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
1. Ibadah Mahdhah,  artinya  penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. Ibadah bentuk ini  memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun          al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b. Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
!$tBur $uZù=yör& `ÏB @Aqߧ žwÎ) tí$sÜãÏ9 ÂcøŒÎ*Î/ «!$# 4
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. An-Nisa’: 64)
!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù
“Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
            Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer disebut bid’ah. Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka.
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.

d). Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah:
1.   Wudhu                                                                              7.   Membaca al-Quran
2.   Tayammum                                                                       8.   I’tikaf
3.   Mandi hadats                                                                    9.   Shiyam ( Puasa )
4.   Adzan                                                                               10. Haji
5.   Iqamat                                                                               11. Umrah
6.   Shalat                                                                                12. Tajhiz al- Janazah

2. Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah) 
yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya .  Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a). Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b). Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c). Bersifat rasional,  ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.  Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d). Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
3.   Hikmah Ibadah Mahdhah
            Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu,
sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana  untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa.
ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4
“Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya.”  (QS. Al-Baqarah 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa). Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.


















BAB III
P E N U T U P


KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa :
Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan Allah secara langsung. 'Ibadah di dalam Islam tidak berhajat adanya orang tengah sebagaimana yang terdapat pada setengah setengah agama lain. Begitu juga tidak terdapat dalam Islam tokoh tokoh tertentu yang menubuhkan suatu lapisan tertentu yang dikenali dengan nama tokoh tokoh agama yang menjadi orang orang perantaraan antara orang ramai dengan Allah.

            Secara garis besar iadah dibagi menjadi dua:
· Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
· Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.
Ruang lingkup 'ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah 'ibadah menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu.

Manusia diciptakan Allah bukan sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah. Karena Allah maha mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu mencapai taqwa.


Demikianlah makalah sederhana ini kami buat. Namun demikian, kami sebagai penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mohon maaf apabila masih banyak ditemui kesalahan, itu datangnya dari kealpaan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca semua. Terutama dari Bapak Agustiar,S.Ag,M.Ag selaku pembimbin saya pada umumnya.
Akhirnya, marilah kita kembalikan semua urusan kepada-Nya. Billahit taufiq wal hidayah war ridho wal inayah wassalamu’alaikum wr.wb.









DAFTAR PUSTAKA


Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2.
Syihab, M. Quraisy, M. Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1.
Al manar, Abduh, Ibadah Dan Syari’ah, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1.
Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2.

Sumber-Sumber Lain ;
[1] Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2, hal. 17.
[2] M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1, Hal. 3.
[3] Abduh Al manar, IBADAH DA
N SYARI’AH, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1, Hal. 82.
[4] Dr. Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2, Hal. 67.
[5] M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, Hal.6.
[6
]Zakiyah Daradjat, ILMU FIQIH, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1, Hal. 5.


[1] Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2005, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana. Hal. 278

[2] Suryadi dan R. Nasrullah, 2008, Rahasia Ibadah Orang Sakit, Bandung: Madania Prima. Hal. 22
[3] Ibid, Hal. 24

[4] Isham bin Abdul Muhsin al-Humaidi Khalid bin Abdurrahman Ad-Darwisy, 2007, Ibadah pelepas lelah,                 Klaten: Wafa press. Hal. 18

[5] Ibnu Mas’ud,  Zainal Abidin S., Fiqh Madhzab Syafi’I, 2007, Bandung: Pustaka Setia. Hal. 20.